SEJARAH KEAGAMAAN DI INDONESIA

 


Indonesia merupakan negara yang sangat menghormati perbedaan terutama dalam urusan kepercayaan. Agama di Indonesia bahkan tidak hanya satu. Ada enam agama dan semuanya memiliki ciri khas tersendiri. 

Bukti bahwa Indonesia menghargai agama tertuang dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari sinilah kita paham bahwa agama atau kepercayaan menjadi hal yang penting.

Sumber Wikipedia.com


Agama Asli Nusantara

Sebelum membahas enam agama tersebut, mari kita bahas agama apa sih yang di anut oleh nenek moyang sebelum nya? Sejumlah agama nenek moyangsuku bangsa Austronesia dan Papua yang berdominasi di seluruh Nusantara sebelum masuk agama-agama asing. Beberapa dari mereka masih hidup sebagai kepercayaan adat yang murni atau telah sinkretis, yaitu agama:
  • Adat Musi (suku Talaud);
  • Adat Papua (suku Asmat, dll);
  • Aluk Todolo (suku Toraja);
  • Arat Sabulungan (suku Mentawai, teristimewa subsuku Sakuddei);
  • Jingi Tiu (suku Sabu);
  • Kaharingan (suku Dayak);
  • Kejawen (suku Jawa);
  • Marapu (suku Sumba);
  • Masade (suku Sangir);
  • Naurus (suku Manusela);
  • Parmalim (suku Batak);
  • Pelebegu (suku Nias);
  • Pemena (suku Karo);
  • Sunda Wiwitan (suku Sunda, teristimewa subsuku Sunda Badui);
  • Tolotang (suku Bugis);
  • Tonaas Walian (suku Minahasa);
  • Wetu Telu (suku Sasak);
  • Wor (suku Biak).
Sembahyang, Sumatera Utara

Agama nenek moyang berisi animisme, kepercayaan terhadap benda mati yang mana, suatu kepercayaan terhadap objek tertentu, seperti pohon, padi, batu atau orang-orang. Kepercayaan ini telah ada dalam sejarah Indonesia yang paling awal, di sekitar pada abad pertama, tepat sebelum Hindu tiba Indonesia. Lagipula, dua ribu tahun kemudian, dengan keberadaan Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan agama lainnya, penyembah benda mati masih tersisa di beberapa wilayah di Indonesia. Penyembah benda mati, pada sisi lain tidak percaya akan dewa tertentu.

Aliran-aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tertanggal 7 November 2017 dengan No. 97/PUU-XIV/2016, ditegaskan bahwa putusan perintah tentang Administrasi Kependudukan untuk mengosongkan kolom KTP dan dokumen kependudukan lain bagi penduduk yang “agamanya belum diakui sebagai agama” maupun kelompok "Kepercayaan", bertentangan dengan Konstitusi, yakni kelompok-kelompok penghayat kepercayaan kini dapat mencantumkan nama “penghayat kepercayaan” dalam dokumen kependudukan mereka. Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Konfusius)"

Sejarah Masuk nya Kepercayaan/Agama ke Indonesia


1. Hindu


Peta persebaran Hindu di Indonesia menurut sensus th. 2010

Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram, dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai zaman Hindu-Buddha Nusantara, bertahan selama 16 abad penuh.
Para pedanda Hindu Bali

2. Budha



Peta persebaran Budha di Indonesia menurut sensus th. 2010

Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba telah pada sekitar abad ke-5 masehi atau sebelumnya dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Nusantara. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama: kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal.

Pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sanghyang Adi Buddha dan satu aliran bersatu Buddhayana. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada masa lampau menurut naskah Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.
Bhiksu Budha melakukan Puja Bakti di Borobudur


3. Konghucu

Peta persebaran Konghucu di Indonesia menurut sensus th. 2010

Agama Konghucu berasal dari Tiongkok daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran, diperkirakan sedari abad ke-3 Masehi. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial. Pada tahun 1883 di Surabaya didirikan tempat ibadah Khonghucu — Boen Tjhiang Soe, dan kemudian menjadi Boen Bio (Wen Miao). Pada tahun 1900 pemeluk Konghucu membentuk lembaga Konghucu Khong Kauw Hwee. Dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) menjadi pada tahun 1955 di Surakarta.

Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan—menggantikan keputusan presiden tahun 1967—mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk Konghucu. Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan kuat memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di Indonesia.

Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktikkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka. Seperti agama lainnya di Indonesia yang secara resmi diakui oleh negara, maka Tahun Baru Imlek telah menjadi hari libur keagamaan resmi.

4. Islam

Peta persebaran Islam di Indonesia menurut sensus th. 2010

Sejarah Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan kesempurnaan tersebut ke dalam kultur. Pada abad ke-13, sebagian besar pedagang orang Islam dari Gujarat, India tiba di pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan (misalnya, sekitar tahun 1297 telah ada jemaah di Peureulak, Aceh Timur). Hindu yang dominan beserta kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam. Dalam jumlah yang lebih kecil, banyak penganut Hindu yang berpindah ke Bali, sebagian Jawa dan Sumatra. Dalam beberapa kasus, ajaran Islam di Indonesia dipraktikkan dalam bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan Islam daerah Timur Tengah.

Pada abad ke 15 dan 16, penyebaran Islam dipercepat oleh pekerjaan misionaris Maulana Malik Ibrahim di Sumatra dan di Jawa oleh laksamana Cheng Ho, serta kampanye yang dipimpin oleh sultan yang menargetkan kerajaan Hindu-Budha dengan masing-masing mencoba mengukir wilayah atau pulau untuk dikendalikan. Empat kesultanan yang beraneka ragam dan berkesinambungan muncul di Sumatera bagian utara dan selatan, Jawa barat dan tengah, serta Kalimantan bagian selatan. Para sultan menyatakan Islam sebagai agama negara dan berperang melawan satu sama lain, dan juga berperang melawan orang Hindu dan Non Muslim lainnya.

Selanjutnya, komunitas Hindu, Budha dan Konghucu dan animisme membawa perdamaian dengan setuju untuk membayar jizyah kepada penguasa Muslim, sementara yang lain mulai mengadopsi Islam untuk menghindari pajak tersebut.

Pria muslim Indonesia mengenakan songkok dan sarung
 tengah mengerjakan salat.

Adat Perlon Unggahan kepada leluhur oleh orang Muslim Jawa di Pekuncen, Banyumas, pada hari Jumat terakhir menjelang bulan Ramadan.


5. Kristen Protestan

Peta persebaran Kristen Protestan di Indonesia menurut sensus th. 2010

Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC) pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat pada abad ke-20 yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di Kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai warga negara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota.

Pemakaman seorang kepala suku Kristen di Kabupaten Tana Toraja,
 Sulawesi (1971). Rumah didekorasi dengan salinan lukisan Perjamuan Terakhir oleh Leonardo da Vinci.

Gereja Protestan di Bukit Doa Getsemane Sanggam,
 Unjur, Simanindo, Samosir, Sumatra Utara.


6. Kristen Katolik

Peta persebaran Kristen Katolik di Indonesia menurut sensus th. 2010

Pada abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Kristen Katolik Roma di Sumatra Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.

Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547, pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu dan membaptiskan beberapa ribu penduduk setempat.

Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan kawasan Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan menyebarkan agama Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama sejak VOC berhasil mengusir Spanyol dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi kedudukannya di Maluku. Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap. Belanda adalah negara basis Protestan, dan penganut Katolik dianggap sebagai kaki-tangan Spanyol dan Portugis, musuh politik dan ekonomi VOC. Karena alasan itulah VOC mulai menerapkan kebijakan yang membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Yang paling terdampak adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara kini mayoritas adalah penganut Protestan. Meskipun demikian umat Katolik masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda dikalahkan oleh Prancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang di Hindia Belanda.

Gereja Katedral Jakarta

Agama Katolik mulai berkembang di Jawa Tengah ketika Frans van Lith menetap di Muntilan pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat setempat. Mulanya usahanya tidak membawa hasil yang memuaskan, hingga tahun 1904 ketika empat kepala desa dari daerah Kalibawang memintanya menjelaskan mengenai Katolik. Pada 15 Desember 1904, sebanyak 178 orang Jawa dibaptis di Semagung, Muntilan, Magelang.


Hubungan Antar Umat Beragama

Manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Konsep ibadah dari trikerukunan memiliki pengertian kehidupan beragama yang tentram antar masyarakat yang berbeda agama dan keyakinan. Tidak terjadi sikap saling curiga mencurigai dan selalu menghormati agama masing-masing.Berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah, agar tidak terjadi saling mengganggu umat beragama lainnya. Semaksimal mungkin menghindari kecenderungan konflik karena perbedaan agama. Semua lapisan masyarakat bersama-sama menciptakan suasana hidup yang rukun dan damai di Negara Republik Indonesia.

Macam-Macam Kerukunan Umat Beragama di Indonesia :
  • Kerukunan antar pemeluk agama yang sama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut agama lainnya.
  • Kerukunan antar umat beragama lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama.
Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Indonesia :
  • Menjunjung tinggi rasa toleransi antar umat beragama, baik sesama antar pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda.
  • Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misal, perijinan pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya.
  • Selalu siap membantu sesama. Jangan melakukan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan.


Sikap, Etika dan Toleransi Beragama

SIKAP BERAGAMA

Dalam mengaplikasikan sikap dalam beragama ada 5 jenis tipologi sikap beragama menurut Komarudin Hidayat yaitu:
  • Eksklusivisme
Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan.Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan eksklusivitas. Artinya,kalau suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan tidak bisa benar
Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.

  • Inklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut Nurcholish Madjid, sikap inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.
Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke arah universalisme dari ciri eksistensial atau formal daripada isi esensialnya. Suatu kebenaran doktrinal hampir tidak dapat diterima sebagai yang universal jika ia sangat berkeras mempertahankan isinya yang spesifik, karena penerapan isi selalu mengandaikan perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.

  • Pluralisme Atau Paralelisme
Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari eksklusivisme. Ia berpandangan bahwa  secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel).
Di lingkungan Islam, tafsir Islam pluralis merupakan pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Misalnya, perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Menurut para penganut Islam pluralis (misalnya Schuon dan Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal: “perumusan iman” dan “pengalaman iman”. Hanya saja, setiap agama selalu menanggap yang satu mendahului yang kedua. Islam, misalnya, mendahulukan “perumusan iman” (tauhid) dan “pengalaman iman” mengikuti perumusan iman tersebut.
Sebaliknya agama Kristen, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan “perumusan iman” mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam strukturperumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.
Sekalipun demikian, sikap paralelistis, pada sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini sekaligus  membawa amanat akan pengharapan dan kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada akhirnya, dan kesabaran karena sementara ini masih harus menanggung perbedaan-perbedaan kita.

  • Eklektivisme
Eklektivisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersipat eklektik.

  • Universalisme
Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.


ETIKA BERAGAMA 
Membangun etika kehidupan beragama ada 5 aspek penting untuk pembangunan agama:
  • Membangun kerukunan hidup antar umat beragama
  • Peran serta umat beragama dan kehidupan social ekonomi
  • Terpenuhinya sarana prasarana keagamaan 
  • Pendidikan agama
  • Penerangan dakwah agama

TOLERANSI BERAGAMA 
Sikap toleransi antar umat beragama dapat ditunjukkan melalui :
  • Saling menghargai dan menghormati ajaran masing-masing agama
  • Menghormati atau tidak melecehkan simbol-simbol maupun kitab suci masing-masing agama.
  • Tidak mengotori atau merusak tempat ibadah agama oranga lain, serta ikut menjaga ketrtiban dan ketenangan kegiatan keagamaan.
            Semua Agama memiliki pengertian dan tujuan yang baik, bahkan semua ajaran-ajaran agama mengajarkan kita untuk berlaku baik dalam segala tindakan.Namun setiap orang memiliki fikiran/pendapat yang berbeda-beda tentang ajaran agama yang di anutnya.Bahkan karena agamanya ia mamiliki pendapat bahwa agamanyalah yang paling benar, sehingga ia menganggap agama yang lainnya adalah musuhnya/merupakan ajaran sesat baginya.
            Setiap agama memiliki pembawa/pengajar atau nabi masing-masing yang paling di agungkan, dan setiap agama itu memiliki pembawa yang berbeda-beda.Semua agama itu mengajarkan kebaikan, namun banyak fikiran yang mengeraskan pendapat sendiri tentang agama itu, sehingga manusia tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran agama yang ia percayai, namun membuat terjemahan yang ada di dalam alam fikirannya sebagai pedoman hidunya.
            Sehingga umat beragama tidak selalu bisa mencerminkan kebajikan yang dikandung dalam agamanya. Pemikiran tentang agama kita sendiri yang benar membuat kita membenci sesama kita manusia, padahal sdemua agama pastinya mengajarkan kita untuk saling mengasihi diantara kita manusia. Tidak ada agama yang mengajarkan untuk membunuh sesama manusia, tapi untuk saling mengasihi.
            Agama beguna untuk mengatur jalan nya kehidupan di antara manusia agar tidak terjadi kekacauan.


DAFTAR PUSTAKA


Komentar

Postingan Populer